Etika Dakwah
ETIKA DAKWAH
a.Pengertian etika
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan. Dengan demikian etika dilakukan oleh seorang untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut memang memenuhi landasan etika. [1]
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan sering di kaitkan dengan perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan merata. Seorang yang menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu di anggap baik pula oleh orang lain, tergantung pada kebiasaan yang di pakai oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun demikian, etika berlainan dengan adat, karena adat hanya memandang lahir, melihat tindakan yang di lakukan, sementara etika lebih memperhatikan hati dan jiwa orang yang melakukan dengan maksud apa dilakukan.
b.Macam-Macam Etika Dakwah
Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antaralain sebagai berikut.
1.Sopan
Sopan berhubungan dengan adaan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. suatan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu pekerjaan di anggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di suatu komunitas.
Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama. Masing-masing memiliki standar sendri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat di jadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan.
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Sesuatu yang kita lahirkan di dalam dan di luar pembicaraan, cara mengenakan pakaian, harus di jaga serapi mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak membosankan. Gerak-gerak yang tetap dan berulang-ulang akan membosankan bagi penerima dakwah. Sekali-kali seorang da’i harus berlainan dalam melakukan gerak gerik, seperti memandang ke depan,kekiri, kekanan atau kebelakang dalam batas-batas kesopanan dengan tetap memperhatikan respons dari pembicaraan yang diucapkan. Cara berpakaian dan bentuk pakaian yang dikenakan harus dijaga sebaik mungkin, tidak mencolok, dan tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Yang perlu diingat oleh da’i adalah ia bertindak sebagai mubaligh yaitu penyampaian ajaran kebenaran islam atau, bukan sebagai peragawan atau peragawati ataupun model. Karena itu kesopanan dan kepantasan menjadi hal yang harus dipertimbangkan oleh da’i dalam melakukan aktivitas dakwahnya.
Cara berpakaian dan cara berbuat yang meskipun bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, tetapi masih dapat diterima kehadirannya, yaitu dalam unsur propaganda yang disebut “Flain fleks device”, yaitu berbuat yang sebagai biasa dilakukan oleh rakyat biasa. Umpamanya seorang da’i mengenakan kain sarung dan berpeci dalam suatu acara umum. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan dalam batas-batas tertentu, sehingga perhatian kepada pakaian yang dikenakan tidak boleh lebih besar dari pada perhatian kepada isi ceramah da’i atau mubaligh tersebut.
Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong dan memutarbalikan keadaan yang sebenarnya. Dalam istilah propaganda hal demikian disebut “card stancking device”, yaitu tindakan dan sikap yang dilakukan sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan, tidak mengada-adabahkan menyampaikan berita bohong ataupun memutarbalikan kenyataan.[2]
2.Jujur
Dalam menyampaikan aktivitas dakwah, hendaklah da’i menyampaikan suatu informasi dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Kemahiran dalam mempergunakan kata-kata mungkin dapat memutarbalikan persoalan yang sebenarnya, jadi da’i harus dapat menyampaikan sesuatu yang keluar dari lisannya dengan landasan kejujuran dan faktual. Seorang da’i tidak boleh berkata bohong apalagi sengaja berbohong dalam suatu tema atau topik pembicaraan. Akibat kebohongan akan fatal akibatnya dan dapat merendahkan reputasi dari da’i sendiri, apalagi yang disampaikan adalah ajaran-ajaran keagamaan. Demikian pula apa yang disampaikan oleh da’i atau mubaligh dalam bentuk tulisan, tidak kurang pentingnya memelihara kejujuran. Apalagi materi dakwah dalam bentuk tulisan dilihat kembali berdasarkan data yang nyata. Jika ternyata fakta yang ditulis salah, tentu akan mengakibatkan ketidak percayaan orang lain kepada da’i tersebut, dan jika hal ini terjadi tentu akan merendahkan kredibilitas da’i tersebut.
Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia massa atau surat kabar, dapat terjadi hal-hal yang melanggar etika kejujuran, misalnya dalam:
ØPencorakan berita (colorization of news).
Untuk menceritakan sesuatu kejadian pencurian misalnya, dapat saja diberitakan dalam kalimat yang bermacam-macam, dari membenci pencurian itu sampai pada menyukai pencurian tersebut. Dapat pula diselipkan didalamnya pujian, kritik, atau cacian kepada pihak yang berwajib,tergantung pada kalimat yang dipergunakan. Bahkan berita dalam kalimat yang sama dapat pula mempunyai kesan yang berlainan bagi pembacanya, hanya karena berlainan tempatnya, dilembar tertentu, berdekatan dengan berita lain, dicetak dengan huruf tebal, diantara tanda petik dan sebagainya. Semua hal itu dapat menimbulkan kesan yang lain disebut dengan “colorization of news”.
ØSpekulasi (speculation),
yaitu tidak menceritakan semua berita, hanya memilih berita yang menguntungkan kelompok saja, sedang berita yang daapat merugikan tidak di muat. Sebenarnya tidak semua kejadian di muat di surat kabar, dan surat kabar tidak selalu mengambarkan kejadian yang sebenarnya dalam arti sedetail-detailnya. Surat kabar hanya selalu memuat kejadian-kejadian yang di anggap aktual, hangat, yang menarik perhatian karena jarang atau tidak pernah terjadi.[3]
3.Tidak Menghasut
Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apalagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika itu di lakukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah. Masyarakat akan merasa bingung pendapat da’i yang mana yaang benar dan harus diikuti.
Adapun yang perlu di ingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya itu, ia harus menyampaikn kebenaran bukan harus menghasut. Menyampaikan kebeneran tidak harus di smpaikan dengan menghasut atau bahkan melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya tidak cocok di lakukan oleh seorang da’i. Apalagi jika perselisihan pendapat itu masih dalam tema khilafiyah (perselisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.
Akan tetapi, jika memang yang di sampaikan adalah masalah penegakan kebenaran secara hak,maka hendaklah da’i menyampaikan kebenaran terssebut walau pahit sekalipun. Sebagaimana disampaikan oleh nabi bahwa, “sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun.”
Komentar
Posting Komentar